Peristiwa 27 Juli 96 dan Sikap Kenegarawanan Megawati Soekarnoputri
prolinknews1996.blogspot.com | Peristiwa 27 Juli 96 dan Sikap Kenegarawanan Megawati Soekarnoputri
Oleh Nanang Sutrisno,SH,MM***
***Pemerhati Sosial dan Ketua Beberapa Organisasi.
Published: Aspari AR***
***Aktivis Promeg
SURABAYA | Peristiwa 27 Juli 1996 yang kemudian dikenal dengan Kudatuli adalah kerusuhan yang dipicu oleh perebutan kantor sekretariat Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Pro Megawati di Jl. Diponegoro No 58 Jakarta oleh sekelompok orang yang mengaku pendukung Soerjadi dan didukung oleh aparat TNI/ Polri.
Kejadian yang terjadi pukul 10.00 WIB tersebut telah menjalar menjadi kerusuhan di beberapa titik Jakarta, dan di luar Jakarta.
Pendukung setia Megawati yang dikenal dengan Promeg, menjadi marah atas kejadian memilukan tersebut. Mereka berkumpul di beberapa titik di ruas Jakarta.
Marwah partai, kehormatan dan harga diri mereka dikoyak paksa oleh pihak yang tidak bertanggung jawab, serta didukung penuh pemerintah rezim Soeharto yang telah berkuasa lebih dari 30 tahun tersebut.
Aksi keprihatinan tersebut mendapat dukungan luas dari mahasiswa, buruh, LSM, organisasi massa, bahkan aktifis HAM dari luar negeri.
Megawati Soekarnoputri selaku Ketua Umum PDI yang menjadi mandataris partai sesuai hasil Kongres Luar Biasa (KLB) 1993 di Surabaya, yang dilanjutkan dengan Musyawarah Nasional (Munas)di Jakarta, tentu saja sedih dan marah atas kejadian yang menimpa kantornya.
Putri Bung Karno tersebut bisa saja mengerahkan pendukungnya untuk membuat kekacauan di mana-mana. Karena pada saat itu ada beberapa Jenderal di tubuh TNI yang bersimpati, dan siap memberikan dukungan jika istri mantan Ketua MPR RI, Moehammad Taufik Kiemas tersebut memberikan perintah untuk melakukan perlawanan.
Tetapi perintah itu tidak kunjung datang, Ibu dari Ketua DPR RI, Puan Maharani tersebut malah memberikan instruksi lewat perintah harian. Pesannya singkat dan jelas.
"Sudah Cukup Lama Kita Menangis, Jangan Menangis Lagi. Tegakkan Mukamu, Dan Jadilah Manusia Sejati,"
Dan kemudian Megawati mengambil langkah yang taktis, simpatik, bijaksana, dan sesuai dengan mekanisme yang berlaku dalam sistem ketatanegaraan yaitu menempuh jalur hukum.
Megawati Soekarnoputri menunjuk RO Tambunan seorang Advokat yang berlatar belakang anggota Golkar, Partai yang sama dengan Presiden Soeharto, yang menempatkan sosok Megawati sebagai ancaman masa depan.
RO Tambunan,SH bersama Tim Penegak Demokrasi Indonesia (TPDI) kemudian melakukan gugatan ke Pengadilan Negeri atas peristiwa 27 Juli 96 tersebut. Di Jawa Timur, TPDI dipimpin oleh Advokat senior, Tri Moelja D Soerjadi, SH, yang dikenal sebagai sosok cerdas, tangguh, dan berkarakter serta berprinsip kuat.
Hasil penemuan di lapangan yang dilakukan oleh Komnas HAM pimpinan Baharuddin Lopa,SH menemukan fakta adanya penyerangan yang masif dan sistematis dalam pengambil Alihan kantor PDIP, dan jelas menyebutkan adanya korban hilang, dan luka-luka berat dari pendukung Megawati.
Pada tahun 2002 saat Megawati Soekarnoputri menjadi Presiden menggantikan Abdurrahman Wahid, banyak masyarakat, terutama pendukungnya yang berharap agar Megawati Soekarnoputri membuka kembali peristiwa 27 Juli 96 dan menyeret aktor intelektualnya ke pengadilan dan menjatuhkan hukuman seberat-beratnya.
Alih-alih membuka kembali peristiwa yang memilukan tersebut, Megawati malah memilih sikap memaafkan dan melupakan. Sebagai bukti nyata, Megawati mendukung Jenderal Sutiyoso sebagai Gubernur DKI Jakarta. Padahal jelas-jelas Sutiyoso adalah mantan Pangdam saat peristiwa 27 Juli 96 terjadi.
Banyak pendukung Megawati, kecewa, marah , dan sedih atas keputusan tersebut, tetapi Megawati tetap bersikukuh atas keputusannya tersebut.
"Bangsa ini tidak boleh terjebak kepada sikap yang mengarah kepada perpecahan, walaupun terluka, keutuhan bangsa lebih utama," begitu prinsip Megawati.
Sebenarnya sikap Megawati ini bisa dimaklumi, karena Megawati pernah mengalami sendiri peristiwa yang kurang lebih hampir sama.
Yaitu peristiwa yang terjadi puluhan tahun silam, tepatnya di akhir masa jabatan ayahnya, Bung Karno. Saat itu banyak pendukung Bung Karno yang meminta agar Bung Karno mengeluarkan perintah perlawanan kepada pendukungnya.
Dimana pada saat itu TNI Angkatan Laut, terutama Korps Komando (KKO), Pasukan Gerak Tjepat (PGT) dari Angkatan Udara, Mobil Brigade (Mobrig), dan beberapa kesatuan Angkatan Darat lainnya siap menghadapi pasukan pendukung Jenderal Soeharto.
Tetapi Bung Karno yang juga Proklamator kemerdekaan Indonesia, dengan tegas memilih sikap tidak memberikan perintah apapun kepada pendukungnya. Hal ini karena Bung Karno tidak ingin negara yang didirikannya luluh lantak karena perang saudara.
Akibat keputusan tersebut, pendukung Soekarno harus menanggung resiko menjadi bulan-bulanan di awal kekuasaan Soeharto, mereka dianggap sama dengan anggota Partai Komunis Indonesia (PKI).
Megawati dan Soekarno tidak hanya memiliki hubungan biologis/ pertalian darah, tatapi juga ada hubungan ideologis yang kuat. Karena itu tidak mengherankan jika ada kesamaan cara pandang dan sikap terkait keutuhan negara.
Tidak hanya itu, Megawati Soekarnoputri berpendirian sangat menghormati konstitusi, hal ini dibuktikan saat Jokowi hendak meminta agar diijinkan menjabat sampai 3 periode. Sebagai ketua umum partai dengan kursi terbesar tentu saja Megawati dapat memerintahkan kadernya untuk memuluskan hal ini.
Tetapi Megawati adalah seorang negarawan sejati, dia memilih menolak keinginan presiden yang telah diusung oleh partainya tersebut. Walaupun dengan resiko terjadi disharmoni dengan Presiden Jokowi.
Walaupun harus pontang panting dalam menghadapi Rezim Jokowi, Megawati Soekarnoputri tetap mampu mempertahankan eksistensi badan Marwah partainya, PDI Perjuangan tetap menjadi pemenang dalam pemilu 2024.
Hal ini sesuai dengan ajaran suci yang diyakini oleh ibu Prananda Prabowo tersebut, yaitu Satyam Eva Jayate, yang artinya pada akhirnya kebenaran yang akan menang.
Dunia internasional juga mengakui bahwa sosok Megawati Soekarnoputri adalah ketua umum partai politik senior yang mampu membawa PDI Perjuangan menjadi partai politik maju modern, terbuka, dan militan, setingkat dibawah Partai Komunis China (PKC).
Doktrin Karmanye Vedi Karatse Mapahletsu Kadatcana yang berarti Berjuanglah tanpa menghitung untung dan rugi, berhasil ditancapkan dan dipatrikan secara paripurna di hati setiap kader PDI Perjuangan. (nanang/ar)
#prolinknews1996
Baca & Kunjungi Juga:
https://whatsapp.com/channel/0029VafY0vN3GJOwtzSVc835
Komentar
Posting Komentar